(KARBON DIOKSIDA)
CO2
Suatu pagi di sekitar tahun 1600an,
sebuah era di mana para filsuf sekaligus menjadi saintis. Sebuah masa di mana
sains diperoleh melalui pergulatan pemikiran, bukan oleh percobaan atau
penelitian.
Di rumahnya, Jan
Baptist van Helmont, melakukan sebuah percobaan kecil. Dia membakar arang
kayu di dalam sebuah tabung bercorong hingga semuanya berubah menjadi abu. Dia
menemukan bahwa arang yang dia bakar beratnya berkurang ketika menjadi abu.
Lalu ke mana perginya berat yang berkurang itu? Berubah menjadi apa?
Karbon dioksida |
Sebagai seorang alchemist,
dia meyakini di setiap benda ada “roh halus” yang terkurung di dalamnya, yang
bisa lepas setiap saat. Dia mencari nama untuk roh halus itu menurut sifatnya
yang tidak dapat dilihat, tidak dapat diraba dan bisa bercampur dengan udara.
Dan kata yang mendekati untuk itu adalah “chaos” dalam bahasa Yunani,
yang oleh para alchemist dipakai untuk menggambarkan keadaan air yang menguap
secara tidak terkontrol. Karena van Helmot menyebutnya dalam dialek Belanda,
lalu menjadi kata gas.
Itulah titik awal
perkembangan ilmu kimia modern dan kata “gas” untuk pertama kalinya
diperkenalkan. Van Helmont kemudian menjadi pelopor ilmu kimia gas. Hingga 300
tahun kemudian barulah para ahli kimia tahu bahwa gas yang dimaksud oleh van
Helmont adalah karbon dioksida (CO2)
Gas bermanfaat
Dari semua jenis gas yang
ada, inilah jenis gas pertama yang bisa dijual. AdalahJoseph Priestley,
seorang berhasil membuat metode menangkap gas CO2 kemudian mencampurkannya
dengan air, yang hingga kini kita kenal dengan nama “air soda”. Dia membuatnya
150 tahun setelah van Helmont membuat percobaannya, tetapi Priestley lebih suka
menamakan gas itu sebagai “fixed air” (udara yang terperangkap). Nama karbon
dioksida belum dikenal. Nama air soda juga tidak dikenal saat itu.
Buku John Priestley yang dicetak tahun
1772 tentang cara membuat air soda. Ini menjadi dasar bagi pembuatan minuman
bersoda saat ini (gambar: wikipedia)
Priestley memang tidak menjual air soda
itu. Dia menjual buku yang berisi cara membuat air soda kepada para pelaut
Inggris. Dia mengklaim bahwa minum air soda bisa mencegah bahkan menyembuhkan
penyakit gusi berdarah. Sebuah klaim yang tentu saja salah. Tapi saat itu
bukunya laku keras.
Hingga kini, minuman
bersoda sudah menjadi minuman nomor satu di dunia. Ada ratusan merk soft
drink maupun minuman beralkohol yang memanfaatkan gas ini untuk memberi rasa
dan sensasi di lidah. Sebuah rasa yang cocok di lidah semua ras di dunia. Pada
tahun 2012, sebuah produsen minuman mendapatkan keuntungan hampir Rp 90
trilyiun dari hasil penjualan air gula yang dicampur gas CO2 yang diberi
nama “Coca Cola”.
Istilah minuman bersoda
tentu saja maksudnya adalah minuman berkarbonasi, minuman yang ada gas karbon
dioksida di dalamnya. Karena gas CO2 diperoleh dari soda (sodium bikarbonat)
maka kemudian orang lebih gampang menyebutnya sebagai minuman bersoda.
CO2 juga dipakai sebagai
salah satu bahan (agent) untuk alat pemadam api ringan (APAR) yang banyak
dipakai di seluruh dunia. Secara teknis, terbakar artinya adanya reaksi antara
oksigen dengan material tertentu. Semprotan CO2 ke api membuat konsentrasi
oksigen menurun karena digantikan oleh CO2 hingga jumlah oksigen
berkurang/habis dan tidak bisa lagi membakar. Ini kurang lebih sama seperti
peristiwa matinya lilin yang ditutup dengan gelas.
Dan yang maha penting, CO2
adalah bahan baku bagi proses fotosintesis oleh tumbuhan. Proses fotosintesis
adalah sebuah keajaiban tumbuhan di mana dia menyerap energi dari matahari dan
mengolah CO2 dan menyimpannya di semua bagian mulai dari daun hingga akar.
Proses fotosintesis jutaan tahun lalu yang sekarang kita pakai sebagai bahan
bakar minyak dan gas bumi. Dan tentu saja yang langsung kita manfaatkan sebagai
makanan kita sehari-hari.
Efek Rumah Kaca
Pada tahun 1861, seorang
ilmuwan Inggris, John Tyndall menemukan bahwa gas yang
kompleks (maksudnya gas yang tersusun lebih dari satu macam atom) mempunyai
kemampuan menyerap dan juga menahan panas. Fenomena menahan panas ini yang
kemudian dikenal dengan nama efek rumah kaca. Sebuah fenomena yang disyukuri
karena bisa membuat bumi kita tetap hangat dan memberikan kehidupan bagi semua
makluk di atas bumi. Dan gas yang paling penting itu adalah gas CO2. Walaupun
jumlahnya sedikit, hanya sekitar 0.03% (280 ppm) di atmosfer tapi perannya
sangat krusial. Tanpa efek rumah kaca, maka suhu bumi lebih dingin 33 derajat
celcius. Pada siang hari akan terasa sangat panas dan pada malam hari akan
terasa sangat dingin. Betapa pentingnya gas CO2 ini. Orang kemudian teringat
percobaan van Helmunt di tahun 1600an. Inilah “roh halus” yang menjaga bumi
dari kepunahan massal. CO2 menjadi malaikat pelindung bumi.
Kadar CO2 dalam 50 tahun terakhir yang
diukur di Hawai (gambar: Presentasi IPCC Cop15)
Penelitian berikutnya selama 100 tahun kemudian
membalikkan keadaan ini. Pada tahun 1956, David Charles Keeling,
membuat metode pengukuran jumlah CO2 secara akurat yang dipakai hingga saat
ini. Dia memasang sebuah alat ukur di Antartika, Kutub Selatan dan satunya lagi
di Hawai. Hasilnya mengejutkan seluruh dunia. Selama bertahun-tahun dia
mencatat adanya peningkatan kadar CO2 di udara, yang diikuti dengan peningkatan
suhu bumi. Jika pada tahun 1957 kadar CO2 masih dibawah 300 ppm, hanya dalam 50
tahun naik menjadi 390 ppm, sementara sebelum revolusi industri hanya sekitar
250 ppm. Dengan kata lain, peningkatannya dalam 50 tahun melampui peningkatan
dalam 350 tahun sebelumnya. Dia bergerak makin cepat.
Mendadak mata dunia terbuka
lebar. CO2 juga menyimpan masalah bagi manusia. Dia bisa membunuh seisi bumi.
Dia bisa menjadi malaikat pencabut nyawa. Sebuah kampanye besar-besaran tentang
bahaya CO2 bagi pemanasan global dilakukan seluruh dunia. Ribuan trilyiun siap
dihabiskan untuk mengendalikan jumlah CO2 di atmosfer kita. Semua negara
terlibat, semua korporasi dan organisasi ambil bagian, bahkan orang per orang
membuat usahanya sendiri-sendiri. Dalam sejarah manusia, ini adalah sebuah
usaha di mana seluruh umat manusia dapat disatukan langkahnya agar semuanya
selamat dari kepunahan.
Tujuannya: CO2 dalam
atmosfer dijaga hingga batas 350 ppm saja.
Salah satu upaya organisasi yang
mengkampanyekan perlunya menekan CO2 hingga di bawah konsentrasi 350 ppm.
Mereka menyebutkan hingga sekarang konsentrasinya sudah 392 ppm (gambar:
350.org)
Dikutip: dari berbagai
sumber.