"Go Green.. Fallin in Love With Your Climate..:)

Daftar Isi

GEOGRAFI LINGKUNGAN 3

Minggu, 09 Maret 2014

(KARBON DIOKSIDA)
CO2
Suatu pagi di sekitar tahun 1600an, sebuah era di mana para filsuf sekaligus menjadi saintis. Sebuah masa di mana sains diperoleh melalui pergulatan pemikiran, bukan oleh percobaan atau penelitian.
Di rumahnya, Jan Baptist van Helmont, melakukan sebuah percobaan kecil. Dia membakar arang kayu di dalam sebuah tabung bercorong hingga semuanya berubah menjadi abu. Dia menemukan bahwa arang yang dia bakar beratnya berkurang ketika menjadi abu. Lalu ke mana perginya berat yang berkurang itu? Berubah menjadi apa?
Karbon dioksida


Sebagai seorang alchemist, dia meyakini di setiap benda ada “roh halus” yang terkurung di dalamnya, yang bisa lepas setiap saat. Dia mencari nama untuk roh halus itu menurut sifatnya yang tidak dapat dilihat, tidak dapat diraba dan bisa bercampur dengan udara. Dan kata yang mendekati untuk itu adalah “chaos” dalam bahasa Yunani, yang oleh para alchemist dipakai untuk menggambarkan keadaan air yang menguap secara tidak terkontrol. Karena van Helmot menyebutnya dalam dialek Belanda, lalu menjadi kata gas.
Itulah titik awal perkembangan ilmu kimia modern dan kata “gas” untuk pertama kalinya diperkenalkan. Van Helmont kemudian menjadi pelopor ilmu kimia gas. Hingga 300 tahun kemudian barulah para ahli kimia tahu bahwa gas yang dimaksud oleh van Helmont adalah karbon dioksida (CO2)
Gas bermanfaat
Dari semua jenis gas yang ada, inilah jenis gas pertama yang bisa dijual. AdalahJoseph Priestley, seorang berhasil membuat metode menangkap gas CO2 kemudian mencampurkannya dengan air, yang hingga kini kita kenal dengan nama “air soda”. Dia membuatnya 150 tahun setelah van Helmont membuat percobaannya, tetapi Priestley lebih suka menamakan gas itu sebagai “fixed air” (udara yang terperangkap). Nama karbon dioksida belum dikenal. Nama air soda juga tidak dikenal saat itu.

Buku John Priestley yang dicetak tahun 1772 tentang cara membuat air soda. Ini menjadi dasar bagi pembuatan minuman bersoda saat ini (gambar: wikipedia)
Priestley memang tidak menjual air soda itu. Dia menjual buku yang berisi cara membuat air soda kepada para pelaut Inggris. Dia mengklaim bahwa minum air soda bisa mencegah bahkan menyembuhkan penyakit gusi berdarah. Sebuah klaim yang tentu saja salah. Tapi saat itu bukunya laku keras.
Hingga kini, minuman bersoda sudah menjadi minuman nomor satu di dunia. Ada ratusan merk soft drink maupun minuman beralkohol yang memanfaatkan gas ini untuk memberi rasa dan sensasi di lidah. Sebuah rasa yang cocok di lidah semua ras di dunia. Pada tahun 2012, sebuah produsen minuman mendapatkan keuntungan hampir Rp 90 trilyiun dari hasil penjualan air gula yang dicampur gas CO2 yang diberi nama “Coca Cola”.
Istilah minuman bersoda tentu saja maksudnya adalah minuman berkarbonasi, minuman yang ada gas karbon dioksida di dalamnya. Karena gas CO2 diperoleh dari soda (sodium bikarbonat) maka kemudian orang lebih gampang menyebutnya sebagai minuman bersoda.
CO2 juga dipakai sebagai salah satu bahan (agent) untuk alat pemadam api ringan (APAR) yang banyak dipakai di seluruh dunia. Secara teknis, terbakar artinya adanya reaksi antara oksigen dengan material tertentu. Semprotan CO2 ke api membuat konsentrasi oksigen menurun karena digantikan oleh CO2 hingga jumlah oksigen berkurang/habis dan tidak bisa lagi membakar. Ini kurang lebih sama seperti peristiwa matinya lilin yang ditutup dengan gelas.
Dan yang maha penting, CO2 adalah bahan baku bagi proses fotosintesis oleh tumbuhan. Proses fotosintesis adalah sebuah keajaiban tumbuhan di mana dia menyerap energi dari matahari dan mengolah CO2 dan menyimpannya di semua bagian mulai dari daun hingga akar. Proses fotosintesis jutaan tahun lalu yang sekarang kita pakai sebagai bahan bakar minyak dan gas bumi. Dan tentu saja yang langsung kita manfaatkan sebagai makanan kita sehari-hari.
Efek Rumah Kaca
Pada tahun 1861, seorang ilmuwan Inggris, John Tyndall menemukan bahwa gas yang kompleks (maksudnya gas yang tersusun lebih dari satu macam atom) mempunyai kemampuan menyerap dan juga menahan panas. Fenomena menahan panas ini yang kemudian dikenal dengan nama efek rumah kaca. Sebuah fenomena yang disyukuri karena bisa membuat bumi kita tetap hangat dan memberikan kehidupan bagi semua makluk di atas bumi. Dan gas yang paling penting itu adalah gas CO2. Walaupun jumlahnya sedikit, hanya sekitar 0.03% (280 ppm) di atmosfer tapi perannya sangat krusial. Tanpa efek rumah kaca, maka suhu bumi lebih dingin 33 derajat celcius. Pada siang hari akan terasa sangat panas dan pada malam hari akan terasa sangat dingin. Betapa pentingnya gas CO2 ini. Orang kemudian teringat percobaan van Helmunt di tahun 1600an. Inilah “roh halus” yang menjaga bumi dari kepunahan massal. CO2 menjadi malaikat pelindung bumi.

Kadar CO2 dalam 50 tahun terakhir yang diukur di Hawai (gambar: Presentasi IPCC Cop15)
Penelitian berikutnya selama 100 tahun kemudian membalikkan keadaan ini. Pada tahun 1956, David Charles Keeling, membuat metode pengukuran jumlah CO2 secara akurat yang dipakai hingga saat ini. Dia memasang sebuah alat ukur di Antartika, Kutub Selatan dan satunya lagi di Hawai. Hasilnya mengejutkan seluruh dunia. Selama bertahun-tahun dia mencatat adanya peningkatan kadar CO2 di udara, yang diikuti dengan peningkatan suhu bumi. Jika pada tahun 1957 kadar CO2 masih dibawah 300 ppm, hanya dalam 50 tahun naik menjadi 390 ppm, sementara sebelum revolusi industri hanya sekitar 250 ppm. Dengan kata lain, peningkatannya dalam 50 tahun melampui peningkatan dalam 350 tahun sebelumnya. Dia bergerak makin cepat.
Mendadak mata dunia terbuka lebar. CO2 juga menyimpan masalah bagi manusia. Dia bisa membunuh seisi bumi. Dia bisa menjadi malaikat pencabut nyawa. Sebuah kampanye besar-besaran tentang bahaya CO2 bagi pemanasan global dilakukan seluruh dunia. Ribuan trilyiun siap dihabiskan untuk mengendalikan jumlah CO2 di atmosfer kita. Semua negara terlibat, semua korporasi dan organisasi ambil bagian, bahkan orang per orang membuat usahanya sendiri-sendiri. Dalam sejarah manusia, ini adalah sebuah usaha di mana seluruh umat manusia dapat disatukan langkahnya agar semuanya selamat dari kepunahan.
Tujuannya: CO2 dalam atmosfer dijaga hingga batas 350 ppm saja.

Salah satu upaya organisasi yang mengkampanyekan perlunya menekan CO2 hingga di bawah konsentrasi 350 ppm. Mereka menyebutkan hingga sekarang konsentrasinya sudah 392 ppm (gambar: 350.org)
Dikutip: dari berbagai sumber.